Tasawwuf dan Perkembangannya
Sufisme atau tasawwuf
adalah pemahaman keislaman yang moderat serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan
kariman (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufan (perkataan yang
baik), qaulan maisuran (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan
yang lemah lembut), qaulan balighan (perkataan yang berbekas pada jiwa),
serta qaulan tsaqilan (perkataan yang berbobot) sebagaimana yang
diperintahkan alqur’an.
Awal kemunculannya
sekitar abad pertama hijriyah merupakan dakwah untuk mengembalikan ajaran Islam
dari penyimpangan batas-batas syari’at. Hal tersebut dapat kita lihat dalam
perjalanan sejarah umat Islam pada saat itu, dimana penguasa sering menggunakan
Islam sebagai alat legitimasi ambisi politiknya. Maka sejak itu muncullah
kesadaran di kalangan umat Islam untuk mengembalikan pesan orisinil dan sakral
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kesadaran yang tulus dan ikhlas dari zuhhad
dan ubbad, seperti Hasan al-Bashri (w-110 H) dan lain sebagainya, akhirnya menjadi sebuah kebangkitan yang
menyebar luas keseluruh dunia muslim. Setelah generasi sahabat dan tabi’in kebangkitan
tersebut lebih dikenal dengan istilah tasawuf atau mutashawwifah.
Tasawwuf merupakan
inti sari dari pada ajaran Islam, yaitu wilayah yang mengharmonisasikan dimensi
lahiriyah dan batiniyah yang ada dalam diri manusia. Sebagaimana kata manusia
dalam bahasa Arabnya al-Insan memiliki makna harmoni. Menurut Ibnumanzur dalam
Lisanul Arab ; kata al-Insan (manusia),
merupakankata benda (isim), kata kerjanya (fi’il) Anas, bentuk ejektifnya (fa’il)
kalau maskulin (muzakar) Anis, kalau feminim (muanats) Anisah. Kata Anas, Anis,
Anisah, Insan, Yu’nis, Muanasah, Uns, itu maknanya harmoni, intim, cinta, kasih
sayang, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan. Jadi pada dasarnya manusia
dipundaknya memikul amanat untuk mewujudkankehidupan yang harmonis, cinta,
kasih sayang, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan antara dimensi
lahiriyah dan batiniyah.
Para insan Sufi yang
telah memperoleh pancaran cahaya tasawwuf adalah penegak dan menjunjung tinggi
pesan-pesan Islam, etika dan nilai-nilai kemanusiaan karena mereka mampu mewujudkan
kehidupan yang harmonis di muka bumi ini. Tidak pandang bulu dengan adanya
perbedaan agama, mazhab, suku, negara, apalagi partai politik. Ibnu Arabi (w-638 H) mampu menjalankan misi
tersebut meskipun langkahnya banyak dihujat oleh sebagian ulama. Seperti yang
telah beliau kemukakan dalam salah satu syairnya di kitab Zakhair al-A’laq
Syarh Turjuman al-Asywaq, ia mengatakan:
Hatiku telah menerima
setiap bentuk
Maka padang rumput
bagi kijang-kijang dan wihara bagi para rahib
Dan rumah berhala dan
Ka’bah orang berthawaf
Dan lembar-lembar
Taurat dan mushhaf al-Qur‟an
Aku beragama dengan
agama cinta, dimana kelompok pecinta
Selalu menghadap, maka
agama itu adalah agamaku dan imanku
Menurut Ibnu Arabi
perbedaan-perbedaan yang ada hanya suatu sarana manifestasi eksistensi Tuhan.
Pada dasarnya semua bertolak dari misi yang sama yaitu keharmonisan, cinta dan
kasih saying yang merupakan amanat Tuhan pula.
Tidak semudah seperti
membalikkan telapak tangan pancaran cahaya tasawuf (ma’rifatullah) akan
didapatkan, namun para mutashawwifah
(ahli tasawuf) perlu menempuh tahapan-tahapan spritual (maqamat
ruhiyyah). Tahapan-tahapan spiritual seperti tobat, wara, zuhud, faqr, sabar,
tawakal dan syukur bisa digapai melalui bermacam-macam ibadah, mujahadah dan
riyadhah serta menyerahkan segenap jiwa dan raga sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketika
seorang sufi mencapai salah satu tahapan tersebut, maka akan mengalami ahwal,
yaitu keadaan pengalaman spiritual dalam mengintropeksi jiwa (muhasabah
al-nafs) sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyaeri (w-465 H) dalam Kitab
al-Risalah dengan menjelaskan setiap bab, seperti bab al-Muraqabah (kedekatan),
al-Mahabbah (cinta), al-Khauf (segan), ar-Raja (optimis), as-Syauq (kerinduan),
al-Uns (harmoni), al-Musyahadah (persaksian) dan al-Yaqin (keteguhan) dan lain sebagainya.
Praktek menjalankan
ajaran Islam seperti ibadah, riyadhah secara hati-hati dan sungguh-sungguh
dengan melewati maqamat yang telah disebutkan diatas, merupakan bentuk thariqah
(jalan) untuk menggapai pancaran cahaya tasawwuf (ma’rifatullah). Thariqah
dapat berfungsi untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan nafsu serta
sifat-sifatnya, dan menjauhkan hal yang tercela serta mengamalkan yang terpuji.
Dengan demikian, thariqah menjadi sangat penting bagi umat Islam yang ingin
mensucikan hati dari sifat-sifat kebendaan dan mengisi hati dengan zikir,
muraqabah dan musyahadah kepada Allah Swt.
Tasawwuf adalah sebuah
ilmu untuk menggembleng batin yang bertujuan agar keadaan dan perilaku diri
menjadi lebih baik, dan semakin dekat dengan Allah. Sehingga tidak salah jika
tasawuf disebut sebagai ilmu batin, karena sasaran utamanya adalah sisi batin. Tasawwuf
adalah ilmu yang paling luhur dan agung, yang paling terang dalam menyinari
batin.
Kebanyakan orang
menganggap bahwa tasawwuf terdiri dari beberapa madzhab dan aliran. Mereka
menyamakan dengan bidang keilmuan yang menggunakan analisa logika sebagaimana
filsafat. Kalau filsafat menggunakan analisa logika maka pantas muncul beberapa
aliran. Sedangkan tasawwuf adalah pengalaman seseorang (tajribah), maka tetap
satu madzhab dan tidak terjadi beragam aliran. Kalau kenyataan jalan (Thoriqoh)
tasawwuf bermacam-macam, tetapi adanya perbedaan dan beragam jalan tersebut,
semuanya menuju satu tujuan.
Oleh: Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA
Edit: Muhammad Faisol ST.
Tidak ada komentar: